Zat Toksik dan Janin

Zat Toksik Masa Kehamilan

Semua jenis zat atau obat yang dapat menyebabkan pertumbuhan janin menjadi abnormal disebut bahan teratogen. Besarnya reaksi toksik yang ditimbulkan tergantung dari dosis, lama paparan dan sifat genetik ibu dan janin. Pada manusia, pereode teratogenesis dimulai hari ke-17 sampai hari ke-54 akhir konsepsi. Perlu diketahui, hanya sekitar 2%-3% kejadian teratogenik berhubungan dengan pajanan obat-obatan, sekitar 70% lainnya belum diketahui. Sisanya dimungkinkan berkaitan dengan kelainan genetik atau pajanan lainnya (Repke,JT.  2002). 

Dua faktor utama bahan teratogen tersebut berasal dari faktor genetik seperti mutasi dan aberasi serta faktor lingkungan baik yang berasal bahan kimia (obat-obatan), biologi (virus) dan fisik (radiasi). Semua bahan teratogen tersebut dapat masuk melalui oral dan kulit serta plasenta yang sebelumnya terpapar melalui udara, makanan dan obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan. 

Seperti halnya bahan toksik merkuri (HgCl2), yang sering kali ditemukan pada produk kecantikan kulit, antiseptik, obat cacing, bahan penambal gigi serta alat-alat laboratorium (IARC, 1993), jika digunakan pada masa kehamilan, maka akan mengganggu perkembangan otak dan syaraf janin dengan menembus Blood-Brain Barier (B3) atau Plasenta Barier. Keduanya merupakan selaput yang melindungi otak janin dari senyawa yang membahayakan. Setelah menembus Blood-Brain Barier, bahan toksik tersebut akan terakumulasi di dalam otak. Sedangkan yang menembus Placenta Barier akan merusak pertumbuhan dan perkembangan janin.

Berikut contoh bahan teratogenik dan mekanisme penembusan pada janin:

1. Obat-Obatan

Penggunaan obat-obatan pada ibu hamil perlu disikapi dengan hati-hati. Hal tersebut dikarenakan banyak jenis obat yang dapat dengan mudah melintasi plasenta. Mengingat di dalam plasenta obat dapat mengalami proses biotransformasi yang dapat menyebabkan teratogenik atau dismorfogenik. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dengan resiko terbesar terjadi pada 3-8 minggu kehamilan. Selama trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin secara fungsional.

2. Kafein

Di Amerika Serikat, ditemukan kasus malformasi pada janin berupa ekstrodaktili dari ibu yang mengkonsumsi kopi antara 19–30 mg/kg bb/hari selama kehamilan (Jacobson dkk, 1981). Kemudian dilakukan penelitian lebih lanjut oleh Kawana, dkk (1988) yang menyatakan bahwa kafein terbukti menyebabkan cacat berupa ekstrodaktili, celah langit–langit mulut, dan hematoma. Selain itu, Faisal dkk. (2001) juga melaporkan kafein menyebabkan nekrosis pada sel hepar dan sel tubulus renalis fetus mencit. 

Kafein bersifat teratogenik terhadap janin karena dapat menimbulkan efek embriotoksik. Menurut Sakamoto dkk. (1993), efek embriotoksik kafein disebabkan karena kafein dan metabolitnya dengan cepat mampu melintas sawar plasenta menuju embrio, kemudian terakumulasi di dalam jaringan fetus, cairan amnion dan pembuluh darah umbilikalis dengan konsentrasi sama dengan konsentrasi pada plasma induk, karena tidak adanya enzim yang memetabolisme kafein pada fetus. Akumulasi kafein dalam sel dan jaringan tubuh fetus bertambah banyak dengan adanya peningkatan waktu paruh kafein pada masa kehamilan, yaitu sampai 3 kali lipat dari masa tidak hamil. Hal tersebut terjadi karena metabolisme kafein berjalan lambat pada masa kehamilan (Baillargeon & Desrosiers, 1987).

Kajian  mikroskopis dan molekuler:

a. Mekanisme seluler (Mikroskopis)

Terjadinya kelainan dalam pembentukan tulang pada fetus terkait dengan adanya hambatan mitosis sel-sel kartilago pada proses osteogenesis. Hambatan tersebut melalui mekanisme cAMP yang mengontrol pembelahan mitosis. Reduksi konsentrasi cAMP pada umumnya diikuti dengan peningkatan aktivitas pertumbuhan, sebaliknya peningkatan konsentrasi cAMP di dalam sel dan jaringan akan menurunkan tingkat pertumbuhan sel, dan pada peningkatan konsentrasi cAMP yang tinggi dapat menyebabkan hambatan akselerasi pertumbuhan. Hal tersebut dapat terjadi karena bahan teratogen mampu melewati sawar plasenta dan masuk ke dalam cairan intraseluler (Sawynok & Yaksh, 1993). Selain itu, menurut Beck & Urbano (1991), bahan tersebut mampu menghambat aktivitas enzim fosfodiesterase yang menghidrolisis cAMP, sehingga perusakan cAMP tertunda yang akhirnya terjadi peningkatan konsentrasi cAMP di dalam sel dan jaringan fetus

Efek zat teratogen ditunjukkan juga dengan terbentuknya jembatan kosta pada fetus. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaknormalan dalam perkembangan kosta selama organogenesis. Yaitu penulangan yang terjadi pada kosta yang menghubungkan antara kosta yang satu dengan kosta yang lainnya. Ketidaknormalan pada kosta tersebut sebagai petunjuk adanya aktivitas teratogenik suatu agensia teratogen yang diberikan pada dosis tertentu (Taylor, 1986).

b. Mekanisme Molekuler

Terbentuknya “jembatan kosta” diduga karena adanya gangguan mitosis dalam proses pembentukan kosta, zat teratogenik tersebut memiliki kemampuan menurunkan aktivitas enzim polimerase DNA dan menginduksi mitosis sebelum replikasi DNA berakhir pada fase sintesis. Semua sel perlu menggandakan materi genetiknya dengan tepat sebelum membelah diri. Biosintesis DNA ini terjadi pada fase S dari siklus sel, dikatalisis oleh enzim polimerase DNA. Enzim ini berfungsi mempolimerisasikan nukleotida-nukleotida. Dalam proses biosintesis DNA ini enzim polimerase DNA harus bekerja dengan tepat dan cepat. Jika aktivitas enzim ini menurun akibat adanya zat toksik, maka biosintesis DNA menjadi terhambat. Diduga hambatan ini berupa terhambatnya atau menjadi tidak urutnya proses penjalinan urutan nukleotida DNA oleh pasangan basa komplementer menjadi urutan asam nukleat komplementer. Selain itu terjadi terhambatnya proses pemisahan untaian DNA dari pilinan DNA sehingga tidak terjadi pasangan basa baru. Seperti diketahui, selama biosintesis DNA, setiap untai DNA yang lama berperan sebagai cetakan untuk pembentukan jalin baru. Akibatnya terjadi reduksi biosentesis DNA, atau biosintesis DNA belum selesai dengan sempurna. Akibat biosintesis DNA yang belum sempurna ini adalah penggandaan kromosom menjadi terganggu, sintesis RNA juga terganggu, yang akhirnya dapat terbentuk jenis protein baru atau protein asing. Kelaianan tersebut diduga terjadi karena gangguan pengekspresian gen, sehingga terbentuk jenis protein baru untuk pembentukan “jembatan kosta”. Protein baru tersebut dapat menjadikan berkurang atau hilangnya protein asal sehingga mengacaukan proses organogenesis. Jika sintesis protein asal dipergunakan untuk penulangan kosta yang normal, maka dengan adanya jenis protein baru ini akan mengacaukan penulangan kosta yang terwujud dalam bentuk cacat berupa terbentuknya “jembatan kosta.

3. Bahan radiasi (fisik)

a. Mekanisme Paparan

Irradiasi terhadap embrio/fetus dari ibu yang mengalami kontaminasi internal radionuklida dapat dikelompokkan kedalam 2 kategori utama. (1) Radionuklida yang tidak dapat menembus plasenta, dimana sirkulasi radionuklida terjadi di dalam tubuh ibu. Radionuklida tersebut berpotensi memberikan paparan radiasi pada fetus jika daya tembus radiasi tinggi seperti beta berenergi tinggi, gamma dan sinar-X.  (2) Radionuklida yang dapat menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh fetus. Sebagian dari radionuklida tersebut pada umumnya dalam bentuk ion. Setelah menembus plasenta, radionuklida tersebar di dalam tubuh embrio/fetus dan terkonsentrasi secara lokal jika organ target fetus sudah cukup matang untuk melakukan fungsi fisiologis.

b. Mekanisme Molekuler

Efek radiasi pada fetus memiliki mekanisme yang hampir sama dengan efek pada orang dewasa. Kematian sel akan menimbulkan efek deterministik. Sedangkan kerusakan pada DNA yang tidak dapat diperbaiki atau mengalami perbaikan yang salah akan menimbulkan efek stokastik. Pada efek deterministik, seperti retardasi mental, terdapat dosis ambang, dan semakin besar dosis semakin parah efek yang terjadi. Efek deterministik akibat paparan radiasi selama kehamilan dapat berupa kematian, abnormalitas sistem syaraf pusat, katarak, retardasi pertumbuhan, malformasi, dan bahkan kelainan tingkah laku. Karena sistem syaraf fetus adalah paling sensitif dan mempunyai periode perkembangan yang paling panjang, abnormalitas yang terjadi akibat radiasi jarang terjadi pada manusia tanpa disertai dengan neuropathology. Sedangkan pada efek stokastik seperti induksi leukemia, tidak terdapat dosis ambang, dan semakin besar dosis semakin besar kemungkinan timbulnya efek tersebut. Keparahan efek stokastik tidak bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Irradiasi selama organogenesis adalah periode yang menjadi perhatian. IUGR, malformasi bawaan, mikrocepali, dan retardasi mental adalah efek yang dominan akibat pajanan radiasi dengan dosis > 0,5 Gy.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Biologi Reproduksi: Siklus Estrus Hewan Mamalia (Teori dan Praktikum)

Pendidikan Tidak Linear, Pupus Harapan Menjadi Dosen

Darah: Produksi Sel Darah Merah