GENETIKA: Penentuan Jenis Kelamin Mahluk Hidup

Oleh: Rizki Nisfi Ramdhini, M.Si

A. Faktor Penentu Jenis Kelamin Mahluk Hidup

Terdapat dua faktor penting yang berperan dalam mekanisme penentuan jenis kelamin mahluk hidup, diantaranya:

1. Faktor Lingkungan

Jenis kelamin suatu mahluk hidup dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang dalam hal ini adalah keadaan fisiologi mahluk hidup tersebut. Keseimbangan kadar hormon kelamin secara signifikan berpengaruh terhadap fenotip. Jika mahluk hidup tersebut mengalami ketidak seimbangan kadar hormon akan menyebabkan terjadinya perubahan jenis kelamin. Berikut beberapa fenomena yang berkaitan dengan perubahan jenis kelamin pada mahluk hidup terkait faktor lingkungan.

a. Cacing laut Bonellia viridis, jenis cacing tersebut dapat mengalami perubahan jenis kelamin di lingkungan air. Penelitian terkait fenomena tersebut dilakukan oleh F.Baltzer. Ia menemukan bahwa setiap cacing yang didapatkan dari sel telur yang terisolisir akan menjadi cacing betina. Jika cacing yang baru menetas dilepaskan di dalam air yang mengandung cacing-cacing betina dewasa, maka beberapa cacing muda yang dilepaskan akan tertarik pada cacing betina dewasa dan kemudian hidup di dalam rahim cacing betina. Cacing muda tersebut kemudian akan berubah menjadi cacing jantan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa larva cacing Bonellia akan menjadi jantan jika bersentuhan dengan betina. Hal tersebut disebabkan karena adanya sejenis bahan kimia yang dihasilkan oleh betina, yaitu bonellin. Sebaliknya, larva akan menjadi betina apabila bersentuhan dengan dasar laut.

b. Buaya, penentuan jenis kelamin ditentukan oleh suhu telur yang dierami. Pada buaya muara, di lingkungan yang bersuhu 31,6 °C, telur buaya yang menetas adalah jantan, dan apabila kondisi suhu lingkungan lebih rendah atau lebih tinggi dari suhu tersebut, maka telur buaya yang menetas adalah betina.


2. Faktor Genetik

Perbedaan jenis kelamin mahluk hidup terkait faktor genetik disebabkan karena adanya variasi komposisi kromosom. Teori tersebut berdasarkan hasil penelitian seorang Biologiwan berkebangsaan Jerman yang bernama H. Henking (1891), yang menunjukkan adanya korelasi antara kromosom dan perbedaan jenis kelamin mahluk hidup. Ia menemukan adanya struktur tertentu di dalam nukelus pada beberapa Insecta pada tahap spematogenesis. Namun, Ia tidak menjelaskan terkait "penting-nya" struktur tersebut, melainkan hanya menamakan struktur tersebut sebagai "badan X" (pembeda spermatozoa yang memiliki badan X dan yang tidak). Kemudian pada tahun 1902, C.E. McClung membenarkan penemuan Henking kemudian melanjutkan penelitian terkait kromosom beberapa jenis belalang. Berdasarkan penelitian tersebut, McClung tidak menemukan badan X pada ovum belalang betina. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa badan X memiliki korelasi terhadap penentuan jenis kelamin.


B. Tipe Penentuan Jenis Kelamin

1. Tipe XY

a. Pada Lalat Buah Drosophila melanogaster

Jumlah kromosom lalat buah Drosophila melanogaster relatif sedikit jika dibandingkan kromosom mahluk hidup lainnya, yakni hanya memiliki 8 buah kromosom. Oleh karena itu kromosom lalat buah sangat mudah diamati dan dihitung sehingga sering kali digunakan sebagai bahan penelitian. Kromosom lalat buah dapat dibedakan menjadi:

a). 6 buah kromosom (3 pasang) baik pada lalat betina maupun jantan memiliki bentuk yang sama. Keseluruhan kromosom tersebut disebut sebagai kromosom tubuh atau autosom (disingkat huruf A).

b). 2 buah kromosom (1 pasang) disebut sebagai kromosom kelamin atau kromosom seks, sehingga pada lalat jantan dan betina memiliki bentuk kromsom yang berbeda.

Gambar 1. Kromosom Lalat Buah Drosophila melanogaster
Kromosom seks dibedakan atas:

1. Kromosom X yang berbentuk batang lurus. Pada lalat betina memiliki 2 kromosom X.

2. Kromosom Y yang memiliki bentuk sedikit membengkok pada salah satu ujungnya. Dari segi ukuran, kromosom Y lebih pendek daripada kromosom X. Pada lalat jantan memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y (Gambar 1).

Berdasarkan hal tersebut, masing-masing lalat memiliki formula kromosom yang berbeda, yakni:

1. Lalat Betina, 3AAXX (3 pasang kromosom autosom dan satu pasang kromosom X (bersifat homogenetik).

2. Lalat Jantan, 3AAXY (3 pasang kromosom autosom dan satu kromosom X dan satu kromosom Y. (bersifat heterogenetik).

Dalam keadaan normal, lalat betina membentuk satu macam sel ovum yang bersifat haploid (3AX), sedangkan lalat jantan dapat membentuk dua macam spermatozoa yang bersifat haploid. Masing-masing spermatozoa tersebut membawa kromosom X (3AX) dan kromosom Y (3AY). Apabila terjadi pembuahan antara ovum dan spermatozoa yang membawa kromosom X maka akan membentuk lalat betina diploid (3AAXX), dan apabila ovum dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y akan membentuk lalat jantan diploid (3AAXY).

Dibeberapa waktu selama pembentukan sel-sel gamet (fase meisosis), sepasang kromosom gamet dapat mengalami peristiwa nondisjunction, yakni sepasang kromosom tersebut tidak dapat memisahkan diri (gagal berpisah), melainkan tetap berkumpul.

Fenomena nondisjunction yang terjadi selama oogenase dapat menyebabkan terbentuknya dua macam sel ovum, yaitu sel ovum yang membawa dua kromosom X (3AXX) dan sel ovum yang tanpa kromosom X (3AO). Jika dalam keadaan tersebut terjadi pembuahan, maka keturunan yang diperoleh akan mengalami penyimpangan. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi diantaranya (Gambar 1):

1. Sel ovum yang membawa dua kromosom X (3AXX) jika dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom X (3AX) maka akan menghasilkan lalat betina super (3AAXXX) yang memiliki 3 kromosom. Lalat super ini tidak memiliki ketahanan hidup yang lama terkait kelainan dan
kemunduran fungsi beberapa organ tubuhnya.

2. Sel ovum yang membawa dua kromosom X (3AXX) apabila dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y (3AY) maka akan menghasilkan lalat betinna yang memiliki kromosom Y (3AAXXY). Lalat ini bersifat fertil seperti lalat biasanya.

3. Sel ovum yang tidak memiliki kromosom X  (3AO) apabila dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom X maka akan menghasilkan lalat jantan yang bersifat steril (3AAXO).

4. Sel ovum yang tidak memiliki kromosom X apabila dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y (3AY) tidak menghasilkan keturunan

Gambar 1. Perkawinan pada Lalat Drosophila melanogaster yang menunjukkan fenomena nondisjuction.

Selain adanya kelainan-kelainan seperti penjelasan di atas, terdapat juga beberapa kelaian lainnya yang dapat terjadi pada keturunan Drosophila melanogaster, diantaranya:

1. Lalat Ginandromorf 
  
yaitu lalat yang separuh tubuhnya terdiri dari jaringan lalat jantan dan separuh tubuh lainnya berupa jaringan lalat betina. Batas antara bagian tubuh jantan dan betina tampak jelas. Oleh karena itu lalat ginandromorf tidak memiliki formula kromosom.

2. Lalat Interseks

Lalat interseks memiliki jaringan tubuh yang bersifat mosaik (jaringan yang tidak teratur) dari jaringan jantan dan betina. Pada awalnya lalat ini akan menjadi lalat betina, hanya saja karena kromosom autosom bersifat triploid (3n) maka lalat akan menjadi interseks (3AAAXX) dan bersifat steril.

3. Lalat Jantan Super

Pada awalnya lalat ini akan menjadi lalat jantan, akan tetapi karena kromosom autosom-nya bersifat triploid (3n) maka justru akan membentuk lalat jantan super (3AAAXY) yang steril serta memiliki kemampuan hidup yang tidak lama.

4. Lalat Dengan Kromosom X Yang Melekat

Lalat ini bernya kelamin betina yang kedua kromosom X-nya saling melekat pada salah satu ujungnya. Disamping itu, lalat tersebut memiliki kromosom Y, sehingga lalat dengan kromosom X yang melekat "attached-X chromosome" mempunyai formulasi kromosom 3AAXXY.

Meskipun pada umumnya dianggap bahwa lalat XX adalah berjenis kelamin betina dan lalat XY berjenis kelamin jantan, namun dikarenakan adanya feomena nondisjunction, kromosom Y pada lalat Drosophila tidak berpengaruh pada penentuan jenis kelamin. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa peristiwa berikut:
A. Lalat 3AAXXY memiliki kromosom Y, namun berjenis kelamin betina
B. Lalat 3AAXO tidak memiliki kromosom Y, namun berjenis kelamin Jantan.

Berdasarkan penelitian C.B Bridges pada  Drosophila melanogaster, diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu jenis kelamin betina terdapat dalam kromosom X, sedangkan faktor penentu jenis kelamin jantan terdapat dalam autosom-nya. Hal tersebut telah dibuktikan dengan penemuan lebih dari sebuah gen yang terdapat di dalam kromosom X mempengaruhi sifat betina, sedangkan gen-gen yang mempengaruhi sifat jantan terdapat dalam autosom dan tidak ditemukan di dalam kromosom Y. Oleh karena itu, untuk menentukan jenis kelamin pada lalat Drosophila melanogaster digunakan indeks kelamin yaitu:

X/A (X: Banyaknya kromosom X dan A banyaknya autosom)

Lalat Betina 3AAXX mempunyai indeks kelamin (X/A)= 2/2= 0,1
Lalat Jantan 3AAXY mempunyai indeks kelamin (X/A)= 1/2= 0,5


Tabel.1. Indeks Kelamin (X/A) pada Drosophila untuk Menentukan Jenis Kelamin
Susunan
Kromosom
Indeks Kelamin
Kelamin
AAXXX
3/2 = 1.50
Betina Super
AAAXXXX
4/3 = 1.33
Betina Super
AAXX
2/2 = 1.0
Betina
AAAAXXXX
4/4 = 1.0
Betina Tetraploid (4n)
AAAXXX
3/3 = 1.0
Betina Triploid (3n)
AAAAXXX
3/4 = 0.75
Interseks
AAAXX
2/3 = 0.67
Interseks
AAXY
1/2 = 0.50
Jantan
AAAAXXY
2/4 = 0.50
Jantan
AAAXY
1/3 = 0.33
Jantan Super
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Darah: Produksi Sel Darah Merah

Biologi Reproduksi: Siklus Estrus Hewan Mamalia (Teori dan Praktikum)